Saturday 29 December 2012

Unrequired Feeling -Side Story- (Indonesian Ver.)

Well this one is created by my imoutou (Risuvile©)

Art by : Kizuki©
“Nii-chama~ Risu pergi dulu ya~” kataku seraya berjalan, membiarkan rambut hitamku menari di udara. Sambil melangkah kecil, aku meninggalkan sosok pria yang terlihat beribawa itu di teras rumah. Zeon, ya Zeon Grantz, kakakku. Entah apa yang ia pikirkan. Yang kutahu hanya terlalu banyak hal tidak kutahu darinya. Begitu banyak sampai-sampai aku tak tahu harus melakukan apa bila sedang bersamanya. Apa yang harus kukatakan saat bersamanya. Aku hanya bisa tersenyum dan berusaha menebak apa yang ia pikirkan saat bersamaku atau berbicara padaku. Tapi, kukira dia pasti bisa menebaknya, mengingat dia yang sudah terlalu banyak tahu tentang sifatku dan semua tentangku. Tapi satu sisi, kekhawatiran itu datang saat langkahku mulai menjauh dari tempat yang kusebut rumah, aku tak mau pergi, aku ingin dia bersamaku, selalu. Aku selalu nyaman bila bersamanya. Sebaliknya, jika ia tak disampingku aku takut dia pergi. Aku takut. Sangat takut. Namun, apa ia mengerti? Aku juga tidak pernah bisa mendapatkan jawabannya. Mungkin aku yang tidak peka.
“Ris! Ayo sini sarapan! Nii udah buatin masakan kesukaan kamu!” Teriakkan yang keras itu kuabaikan, aku tahu ia pasti marah. Tetapi, aku tidak bisa meninggalkan ini. Kubuka lemariku, semua lemariku, kulempar semua baju yang ada disana keluar lemari, entah dimana posisi mereka sekarang, yang kutahu aku hanya mencari baju cosplay kesayanganku. Baju yang kudapat dari kakakku, Zeon. Kakak yang teramat kusayangi, baju cosplay yang tidak sederhana yang ia dapat dari hasil pemikirannya sendiri. Ya, dia mendesainkan sendiri baju itu, semalaman. Lalu merelakan uang jajannya terakhirnya, untuk membayar biaya menjahit kostumku, tanpa aku tahu. Karena , waktu itu aku menangis menginginkan sebuah kostum baru untuk mengikuti lomba yang sudah kuimpi-impikan selama 1 tahun. Aku sadar aku egois, terlalu egois dan aku menyesali semua itu. Tapi, aku tidak menyesal mempunyai baju itu. Namun sekarang? Penyesalan itu datang lagi, baju itu hilang, entah dimana. Aku ini memang orang yang ceroboh dalam menyimpan barang. Air mataku menetes. Sambil terus mencari baju kesayanganku itu. Tanganku mulai bergerak lebih cepat untuk membongkar semua barangku di lemari seraya air mataku yang lebih deras menetes.
“Risuvile Grantz!” Teriak pria yang kupanggil ‘Nii-chama’
“APA CHAMA?! RISU LAGI CARI KOSTUM TAU!” balasku berlaga kesal sambil berusaha menutupi  air mataku. Aku harap dia tidak melihat itu dan secepat mungkin kuhapus air mataku. Bayangan kakakku mulai hilang dari depan pintu kamarku. Aku tahu dia kesal dan memutuskan untuk turun meninggalkanku. Aku segera pergi ke kamar mandi di kamarku, membasuh wajahku, lalu mengeringkannya dengan handuk. Berharap aku dapat menyembunyikan semuanya. Aku lalu turun kebawah menyusul kakakku, aku tidak mau dia marah.

“Nii-chama. Kostum Risu ilang.” kataku manja, tapi aku tak mendapati respon apa pun.
“Nii-chama, jangan ngambek.” Nada manjaku tak berhenti keluar berharap mendapatkan respon, sekedar ‘anggukan’ pun tak apa. Namun, hasilnya masih nihil.
“Chama ih, jangan ngambek. Risu kissu loh!” ancamku yang kali ini membuahkan hasil.
“Ga takut. Suruh siapa jorok sama barang sendiri. Udah sana sarapan. Bentar lagi mau pergi ke event kan?” balasnya singkat tapi sedikit membuat air mataku ingin mengalir lagi. Aku melangkah menuju dapur dengan wajah cemberut. Tak lama setelah aku duduk dan mulai makan ia menghampiriku, mengelus rambutku lembut dan selalu membuatku lebih nyaman, lalu duduk disampingku. Aku makan sambil berusaha memikirkan apa yang harus kulakukan sekarang? Aku lalu menemukan selembar kertas dengan gambar didekat tempatku makan, yang entah sebenarnya gambar apa aku pun tak tahu.
“Chama, chama! Nanti Risu mau cosu ini boleh yah?!” kataku yang akhirnya mendapat topik pembicaraan. Aku tak mau berlama-lama bertengkar dengan kakak kesayanganku.
“Hmm. Sebenernya sh nii ga setuju. Tapi ya, terserah deh”
“Huh! Chama jawabnya terserah mulu!” timpalku sebal. Dia hanya tertawa kecil karena respon yang ia dapat dariku. Tapi aku senang ia masih menjawabku. Aku takut kalau ia benar-benar tak mau bicara denganku lagi. Orang tuaku? Mereka entah dimana sekarang. Mereka meninggalkan aku dan kak Zeon waktu kecil.  Membuatku merasa tak ada lagi yang menyayangiku kecuali kakakku. Rasa sayang itu semakin menjadi, entah sejak kapan, membuatku benci jika kakakku bersama wanita lain. Oleh karena itu aku tak pernah tersenyum pada wanita yang bersamanya, aku selalu diam tanpa memberikan respon pada wanita-wanita tidak penting itu. Aku benci, sangat sampai-sampai kadang aku marah kalau kak Zeon membawa wanita kerumah, aku lebih memilih diam dikamar dan memasang musik keras-keras,  dan menangis. Entah mengapa rasanya sesak dan perih jika kakakku membawa wanita lain. Merutuk dan berharap wanita itu segera pergi dari rumahku, bahkan musnah dari bumi, . itu yang selalu aku lakukan. Aku selalu bilang pada kakakku, Jika kak Zeon memiliki kekasih maka aku juga akan memiliki kekasih. Aku tak akan benar-benar melakukannya, hanya mengancam. Karena, aku terlampau sayang pada kakak, aku tak ingin dia dimiliki orang lain. Aku bahkan lebih memilih untuk menjadi wanita tua tanpa kekasih dan hidup bersama kak Zeon, dari pada harus menikah dan berpisah dari kak Zeon. Tapi, entah mengapa ia benar- benar tak memiliki kekasih sampai sekarang.
“Chama, Risu pergi dulu ya.” Aku melangkah kecil melewati pintu depan dan menghilang dari pandangan kakakku. Tangisku meleleh lagi. Aku benar-benar tak bisa menahannya. Perih dan sesak di dadaku semakin menjadi, ingin rasanya berteriak. Aku lalu pergi ke taman tempat biasa aku dan kakak main dulu.  Kuputuskan untuk tidak pergi ke event, mana mungkin aku bisa pergi dengan keadaan seperti ini?
Ketika sampai aku hanya bisa melihat bayangan aku dan kak Zeon dulu sewaktu kecil. Aku duduk di ayunan tempat biasa kak Zeon mendorong lembut ayunanku agar aku bisa tertawa dan senang. Kuhapus beberapa kali air mataku. Tapi mereka tak berhenti, badanku gemetar, pikiranku kacau. Aku menangis, ketika memikirkan suatu hari kakakku harus dimiliki orang lain dan meninggalkanku. Aku tak mau. Aku tak bisa hidup tanpa kak Zeon, dia terlampau berharga untukku, aku lebih memilih mati dari pada harus melihatnya bersama orang lain dan meninggalkanku sendiri. Tangisku pecah, aku menangis sebisaku. Aku tak perduli jika ada yang melihatku, hatiku sakit, aku tak tahu harus berbuat apa. Apa aku telah jatuh cinta pada kakakku sendiri? Tapi, apa yang kakak rasakan padaku. Pertanyaan aneh dan pikiran-pikiran buruk mulai mendatangiku. Membuat aku semakin tak tenang, kuambil Risele dari tasku, dan kupeluk berharap akan membuatku lebih nyaman. Risele adalah sebuah boneka kelinci yang kak Zeon beri saat hadiah ulang tahunku yang ke lima, aku selalu memeluk Risele jika aku sedih, tapi kali ini tak bisa. Hanya kakakku yang bisa membuatku tenang.
                Lima jam lebih kupakai hanya untuk menangis. Sore hari mendatangiku seolah mengajakku pulang. Tapi, wajah seperti apa yang harus kupasang saat bertemu kakak? Aku tak bisa menyembunyikan semua ini lagi. Kuseret kakiku untuk melangkah, langkah gontaiku terus berlanjut hingga aku sampai didepan rumah. Aku terdiam didepan pintu, menghapus air mat sebisaku dan memasukan Risele ke tasku. Membuat seakan semuanya baik-baik saja, tapi ku yakin hasilnya nihil kali ini.
Tak lama setelah aku menekan bel rumah kakakku membukakan pintu dan menatapku, dan kuyakin kakakku pasti menyadari ada yang salah denganku saat itu. Aku memutuskan untuk tidak berbicara apa pun sebelum air mataku jatuh lagi di depan kakak. Aku bergegas pergi kekamarku dan mengunci pintu. Kulihat kamarku sudah tertata rapih, dan kuyakin juga kakakku yang merapikan semuanya.  Kuganti bajuku dengan piyama sore itu, dan sedikit pun aku tak beranjak dari kamarku hingga malam. Aku duduk di pinggir kasurku lalu menatap kearah meja yang aja di sebelah kasurku dan mendapati foto itu. Foto cosplay pertamaku bersama kak Zeon. Air mataku mengalir lagi tanpa kusadari. Kupegang foto itu lalu kupeluk erat-erat “Nii-chama, Risu sayang banget sama Nii. Jangan tinggalin Risu.  Risu gak mau.” Aku bicara sendiri saat itu. Berusaha menenangkan diri dan mencoba tidur dengan membiarkan foto itu tetap tergeletak di kasurku. Nihil, rasa sakit ini tak mau hilang. Kuberanikan diriku menuju kamar kakak dan mengetuk pintu.
“Chama ini Risu. Risu mau tidur sama chama.” Aku bekata sebisaku.
“Masuk aja.” Jawab suara didalam sana. Aku lalu masuk dan bebaring disebelah kakakku. Kutatap mata kakakku dan aku semakin menyadari bahwa aku sangat sayang pada kakakku. Aku tidak siap dan tak kan pernah siap kehilangan pancaran matanya, pelukannya, suaranya, semuanya. Aku tak sanggup. Kuhabiskan banyak waktu untuk menatap setiap setiap inchi wajahnya.
“Risu mau ngomong.” Suaraku yang tertahan akhirnya keluar dan mendapat sebuah respon anggukan dari kakakku.
“Sebenernya Risu…”  kata-kataku terputus karena menahan air mataku.
“Sebenernya ap—“ kupotong kalimat sempurna kakakku. Aku membiarkan bibir lembut kakak bertemu dengan bibirku, berharap dia merasakan apa yang kurasakan sekarang, kemarin, atau esok dan seterusnya.
“Risu sayang chama!” Ucapku setelah melepaskan ciuman singkat kami. Aku memeluknya erat dan membenamkan kepalaku di dada kakak.
“Nii juga, nii sayang Risu.” Katanya seraya mengelus rambutku lembut, membuatku nyaman untuk tidur, selalu seperti itu. Aku tak perduli jika kakak tak mengerti perasaan aneh milikku ini, yang kutahu hanya “Aku cinta chama” Kubiarkan diriku terlelap dalam pelukannya, hangat. Aku tak mau ini berakhir, kuharap Tuhan membiarkan aku merasakan ini sampai baterai hidupku habis nanti.

No comments:

Post a Comment