Friday 28 December 2012

Happiness (Indonesia Ver.)

             Nii-chan. Onii-chan. Kakak. Semua sebutan itu aku berikan untuk seseorang bernama muzzle, atau akrab di panggil muzzy. Ya, meskipun kami sama sekali tidak berhubungan darah, namun kami sangat sering memanggil kakak dan adik satu sama lain. Sebenarnya panggilan ini bermula satu bulan yang lalu. Disaat dia menyatakan perasaanya padaku. Lalu aku menolaknya dan mengusulkan agar kami saling memanggil kakak-adik. Aku tak bermaksud menolak dia, namun aku masih bingung dengan perasaanku. Karena dulu aku masih mempunyai rasa pada lelaki lain. Yang kini aku ketahui bahwa lelaki itu adalah seorang playboy dan tidak benar-benar mempunyai rasa untukku.

                Muzzy juga sebenarnya bisa di bilang playboy. Namun, dia adalah playboy gagal. Dulu dia pernah menembak sahabat terbaikku dan di tolak. Dan sebagian besar gadis yang ia tembak selalu menolaknya. Namun akhir-akhir ini aku mulai merasa aneh. Aku mulai merasa tidak ingin kehilangan onii-chanku yang berharga. Aku merasa semakin sayang padanya. Aku tak tahu apa ia merasakan hal yang sama, namun aku tak perduli. Selama ia tidak berhenti menjadi onii-chanku.

                “Hey Riselè.” Ucap seseorang yang tiba-tiba meng hampiriku dan mengelus kepalaku. “Nii-chan.” Ucapku dengan lembut sambil menunduk. Hanya satu orang yang bisa membuatku menunduk dan berbicara dengan lembut. Nii-chan. Dan aku, riselè biasanya adalah seorang gadis tomboy pecinta hal-hal yang berbau sejarah. Namun tidak seperti itu jika aku sedang bersama nii-chan. Aku sendiri tak tahu mengapa aku bisa menjadi selembut itu. Namun Muzzy sendiri mengatakan bahwa dia menyukai aku yang seperti ini. Aku yang lembut dan manja. Dan sepertinya perkataannya itulah yang membuatku tetap berlaku seperti ini setiap berasamanya.

                “Ayo pulang.” Ucap Muzzy dengan sebuah senyuman. Aku hanya mengangguk. Dan lalu kami pun pulang bersama dari sekolah kami. “Hmm, kau nampak senang hari ini. Ada apa?” Tanya Muzzy. “Umm, tak ada apa-apa. Hanya saja… nii-chan. Ter-terlihat. Senang. Riselè juga jadi senang.” Ucapku dengan malu. “Kau  ini.” Nii-chan kemudian memelukku dan mengelus kepalaku. “Nii-chan sedang suka pada seseorang. Makanya nii-chan senang.” Aku hanya bisa terdiam. Sebuah perasaan tidak enak mulai menyelimuti hatiku. Mungkinkah ini rasa cemburu? Tapi dia hanya kakakku. Orang yang aku anggap sebagai saudara yang dekat denganku. Tapi rasa ini sangat menyiksaku. Dan aku harus berusaha menutupi perasaanku ini pada nii-chan. Aku sangat menyayangi nii-chanku. Aku tak mau dia meninggalkanku untuk gadis lain. Tapi aku tetap hanya adik pura-pura miliknya. Aku tak berhak melarangnya.

                Sepanjang jalan kami habiskan dengan hening sampai akhirnya kami sampai di rumahku. Kami hanya saling bertukar kata perpisahan dan kemudian nii-chan pulang ke rumahnya. " Apakah nii-chan meyadari perasaanku?” gumamku dalam hati sambil berjalan masuk ke rumahku. Bersama hatiku yang terasa perih aku pergi menuju kamar mandi untuk mandi dan menenangkan pikiranku.

                “Nii-chan.” Ucapku sambil duduk di dalam Bathtub.
Aku masih tidak bisa berhenti memikirnya. Aku tahu aku menginginkannya. Aku sangat menyayangi nii-chanku. Apalagi setelah kehilangan harapan pada lelaki pilihanku yang membuatku hanya menjadi adik pura-pura Muzzy. Aku memeluk kakiku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Ingin sekali aku menangis. Namun akan sangat menyakitkan jika aku menangisinya sekarang. “Apakah nii-chan juga memikirkanku?” Gumamku dengan sedih.

                Setelah mandi aku pun masuk kedalam kamarku dan memakai piyamaku. Kemudian aku berbaring dan menatap langit-langit kamarku. Disana terdapat gambar Wyvern yang baru-baru Ini aku minta kakek untuk menggambarkannya. Dan Wyvern itu sangat mengingatkanku pada nii-chan. Dengan rasa sakit yang kembali menyelimutiku aku mengambil handphoneku. Terlihat ada beberapa pesan masuk yang belum aku baca. Tentu saja karena aku berada di sekolah, dan karena aku tak membawa alat komunikasi apapun ke sekolah.

                 Sebagian besar pesan tersebut berasal dari mantan-mantan kekasihku semasa SMP. Namun kulihat pesan terakhir yang kudapat adalah pesan dari nii-chan. “Maaf ya, Riselè. Sepertinya nii-chan mengatakan hal yang salah tadi. Nii-chan sayang Riselè.” Begitulah isinya. Mukaku mulai memerah dibuatnya. Lalu aku pun berteriak “NII-CHAN!” Dan langsung memeluk gulingku erat. Membayangkan bahwa guling itu adalah nii-chanku. Dan tak lama kemudian aku terlelap.

                Keesokan harinya aku bangun dengan semangat. “Nii-chan!” Tiba-tiba aku teringat bahwa aku belum membalas pesan singkat dari nii-chan. Dan disaat aku mengecek handphoneku ada pesan dari nii-chan yang berisi “Riselè marah ya? Maaf.“ Dan setelah membaca itu aku segera membalasnya “Nii-chan, gomen. Riselè ketiduran kemarin. Hehe. Tak apa nii-chan, nii-chan tidak mengatakan hal yang salah. Riselè juga sayang nii-chan.” Tentu saja pesan tersebut tak langsung mendapat balasan karena biasanya nii-chan bangun siang dan terlambat datang ke sekolah. Setelah itu aku berlari ke kamar mandi dan segera bersiap berangkat menuju sekolah. Dan sebelum aku berangkat aku mengecek handphoneku dan mendapati satu pesan baru dari nii-chan. Yang berisi “Baguslah, nii-chan lega.” Aku hanya tersenyum setelah membacanya dan pergi ke sekolah.

               “Hey Riselѐ.” Panggil seseorang disaat aku sedang berjalan menuju sekolahku. “Hmm? Oh,kau.” Ucapku dingin setelah menoleh dan melihat seseorang yang bernama Loyt. Loyt adalah murid kesayangan kakekku di dojo kami. Wajahnya yang menawan juga membuatnya banyak di sukai oleh para gadis. Terkecuali aku. Aku tak suka sikapnya yang arogan dan menganggap aku akan suka padanya jika dia menjadi ‘lebih’ dari orang lain dalam segala hal. Sayangnya dia tidak dan tak akan pernah mengerti apa yang sebenarnya aku sukai. Aku menilai seseorang bukan dari penampilannya. Melainkan dari isi hatinya. Aku selalu dapat menilai sikap seseorang dengan cepat. Dan Loyt sangat jauh dari kata ‘baik’.

               “Kau ini selalu saja dingin padaku sel.” Ucap Loyt padaku seraya ia mengejarku dan berjalan di sampingku. “Biar saja, terserah aku kan?” Balasku tetap dingin dan memandang ke jalanan yang kutapaki. “Ah, iya sih. Ah sudahlah.” Sepertinya kali ini dia menyerah dengan cepat dan kembali melanjutkan apa yang ia sebut ‘lari paginnya’. Begitupula denganku. Setelah aku menghela nafasku, aku pun melanjutkan perjalananku ke sekolah. Tak lama kemudian aku sampai di sekolah. Dan aku pun duduk di kursiku.

               Pagi yang cukup menyebalkan yang dikarenakan Loyt terobati oleh nii-chan yang ternyata tidak terlambat dan bahkan datang tak lama setelah aku duduk. Nii-chan yang baru masuk ke kelas langsung tersenyum dan mendekatiku. “Pagi Riselѐ.” Ucapnya. “Pagi nii-chan.” Balasku dengan sebuah senyuman manis. Nii-chan pun mengelus kepalaku dan pergi duduk di kursinya. Aku merasa cukup senang karena nii-chan tidak datang terlambat. Tapi aku juga penasaran mengapa ia tidak datang terlambat hari ini. “Nanti saja kutanyakan disaat istirahat.” Gumamku dalam hati.

              Tanpa terasa waktu berlalu dan bel masukpun sudah berbunyi. Dan lagi-lagi terjadi hal yang tak normal. Nii-chan yang biasanya langsung terlelap sampai istirahat, kini tetap terbangun sambil mengetuk-ngetukan pensilnya ke meja. Entah kenapa hatiku terasa gundah. Ada yang lain dari nii-chan hari ini. Aku yang berusaha tetap fokus kepada mata pelajaran akhirnya berhasil melalui semuanya. Sesaat setelah guru keluar karena sudah saatnya istirahat, aku menghela nafasku, dan menyandarkan kepalaku di mejaku. Aku yang kemudian melihat kursi nii-chan yang sudah kosong, bangun dan berlari keluar mencarinya.

              Setelah aku lelah karena berlari-lari tanpa membuahkan hasil menyandarkan tubuhku di jendela yang menghadap keluar ke arah taman belakang sekolah. Aku yang kemudian menatap pohon ek besar di taman, melihat nii-chan sedang makan bekal bersama seorang gadis berambut merah muda mencolok. Mereka terlihat sangat akrab. Itukah gadis yang di sukai oleh nii-chan? Orang yang akan merebut nii-chanku? Pertanyaan itu mulai terbesit di pikiranku. Begitu juga rasa sakit yang mulai merasuki hatiku. Aku yang berusaha menahan perasaan sakit dan tangisku berlari ke arah tangga yang berakhir dengan jatuh dari tangga.

              Dan di saat aku tersadar. Aku sudah berada di ruangan yang terlihat putih dan bersih. “Surgakah? Oh bukan. Ini ruang kesehatan.” Gumamku dalam hati. Aku yang berusaha bangun melihat nii-chan sedang tertidur pulas di pinggir kasur tempatku berbaring saat ini. Aku hanya terdiam, rasa senang bercampur sakit membuat hatiku tak karuan. Akupun memberanikan diri untuk membelai rambutnya yang agak acak-acakan. Dan tak lama kemudian nii-chan terbangun. “Uhh, Riselѐ? Riselѐ?! Kau sudah sadar!” Teriak nii-chan yang kemudian memeluk erat tubuhku. “Nii-chan khawatir!” Ucap nii-chan. “..... ma-aaf. Nii-chan.” Ucapku balas memeluk nii-chanku sambil menahan tangis. Kami cukup lama berpelukan sampai akhirnya. Aku melepas pelukanku yang kian terasa berat, dan ternyata sudah tertidur kembali.

             Aku yang kebingungan kemudian mengambil peluit Wyvern milik nii-chan dan meniupnya untuk memanggil Muzzel Wyvern ‘peliharaan’ mendiang neneknya nii-chan. Dan tak lama kemudian kepakan sayap Muzzel sudah mulai terdengar. Aku yang harus menahan rasa sakit dari luka akibat terjatuh tadi. Membopong nii-chan ke atap dan menaikannya ke atas punggung Muzzel, dan tentunya aku juga ikut menunggangi Muzzel. Muzzel yang selalu jinak dan menuruti perkataanku mengantarkanku ke rumahku dan kemudian pulang bersama nii-chan yang tetap tertidur. “Jelas saja, setelah dia bangun pagi dan memaksakan diri terbangun di kelas. Bagaimana bisa dia tidak meraasa ngantuk.” Gumamku sinis. Kini rasa sakit dari lukaku tak terasa. Yang terasa hanya luka di hatiku. Aku yang sedang merasa sangat terpukul dengan pemandangan di sekolah tadi. Bahkan berlaku cukup berbeda kepada kedua orangtuaku.

             Aku hanya bisa berbaring diatas kasurku yang terasa lebih keras dari biasanya. Semua yang kurasakan terasa lebih menyakitkan dari biasanya. Mulai dari  makan malam yang terasa hambar hingga bantal dan gulingku yang terasa lebih keras. Aku bingung harus bagaimana, aku termakan api cemburu, tapi di sisi lain aku tetap hanya adik pura-pura Muzzy. Aku tak bisa melakukan apapun untuk melarang nii-chan mencintai gadis lain. Aku yang tetap merasakan sakit ini terlelap bersama rasa perih di hatiku.

            Keesokan harinya aku terbangun dengan perasaan hampa. Aku sudah merasakan kelihangan nii-chan. Aku benci perasaan ini, namun perasaan ini tak dapat hilang begitu saja. Aku mencoba tak menghiraukannya dan bergegas pergi ke sekolah.
Hari ini tak ada hal yang berarti yang terjadi di sepanjang jalanku menuju sekolah. Dan sesampainya di sekolah aku hanya terduduk lemas di kursiku. Aku mulai merasakan sakit akibat luka di tubuhku. Namun itu tak berlangsung lama karena nii-chan tiba-tiba saja datang. “Riselѐ? Kamu seharusnya tidak memaksakan diri.” Ucap nii-chan yang datang mendekatiku dan mengelus rambutku. “Riselѐ sudah baikan ko.” Ucapku dingin. Nampaknya sikap dinginku tak di tanggapi serius ataupun menyerang pikirannya. Sepertinya semua yang ia pikirkan hanyalah gadis itu.

            Sekali lagi aku berusaha tak menghiraukan perasaanku. Dan berusaha fokus pada pelajaran. Namun aku tak bisa. Pandanganku selalu teralih pada nii-chan yang hanya memandang keluar jendela sepanjang pelajaran. “Apa yang di pikirkan nii-chan.” Gumamku dalam hati. Pikiranku ini terus-menerus menghantuiku setiap kali aku melirik nii-chan. Dan hasilnya adalah guruku memanggil namaku dan aku tak mendengarnya karena sedang memikirkan hal ini. “Pa, kemarin Riselѐ jatuh dari tangga. Mungkin dia memang masih belum pulih.” Ucap salah seorang teman sekelasku. Yang membuatku di suruh untuk istirahat di ruang kesehatan.

            Aku tahu nii-chan tak akan datang untuk menjengukku lagi. Apalagi setelah sikapku tadi pagi. Tapi aku tak tahu apa nii-chan merasa tersakiti oleh sikapku. Apakah nii-chan merasakan perasaanku yang sebenarnya? Kini aku mulai merasa menyesal dengan sikapku. Tapi hati kecilku berkata lain. Untuk apa bersikap baik pada orang yang pada akhirnya meninggalkanmu untuk orang lain? Itu yang di bisikkan oleh hati kecilku. Aku yang mulai bingung dengan hatiku sendiri membantingkan tubuhku pada kasur tempatku berbaring kemarin. Nampaknya kasur ini sama sekali tak di bersihkan sehingga aku sedikit bisa mencium wangi tubuh nii-chan yang masih tersisa di sini. “Nii-chan” ucapku dengan nada yang miris dan merelakan tubuhku untuk istirahat.

             Dan dugaanku tepat. Disaat aku membuka mataku aku tak melihat tanda-tanda nii-chan. “Hey sel, kamu udah sadar.” Ucap seorang gadis berambut panjang yang berwarna hijau mint. “Mhh? Kau Mint. Ko kesini?” Balasku. “Untuk menjengukmu lah. Memang apa lagi? Kau kan teman terdekatku.” Balasnya. “Iya sih.” Cibirku singkat. “Kau ini kenapa sih? Ada masalah ya sama Muzzy?” Tanya Mint tepat mengenai sumber sikapku ini. “Uhh. Ti-tidak!” Balasku sambil memalingkan wajahku. “Jangan bohong. AH! Aku tahu! Kau pasti cemburu kan? Ya gadis berambut pink itu memang cukup manis.” Lagi-lagi Mint tepat mengenai sasaran. “Tch, kau ini memang teman terdekatku.” Ucapku kesal. “Haha, iya dong Mint gitu!” Ucapnya bangga. “Apa yang kau banggakan bodoh!” Ucapku kesal sambil mencubit pipinya geram. “AWAWAW. Maaf sel!” Ronta Mint.

           “Huh! Dasar. Aku bingung dengan dia.” Ucapku sambil kembali membaringkan tubuhku. “Auh, tapi dia itu sekali sayang tetap sayang. Kalau aku mulai sakit lagi saja dia langsung menjenguk.” Ucap Mint sambil mengelus pipinya. Ya, Mintlah orang yang nii-chan dekati sebelum aku. Mint menolaknya karena kondisi fisiknya yang sakit-sakitan dan karena itu juga dia menganggap bahwa dia takkan sanggup menjadi kekasih yang baik untuk nii-chan. “Iya sih. Mungkin aku juga keterlaluan sudah bersikap dingin padanya.” Balasku dengan helaan nafas. “Yap, minta maaf nanti. Bentar lagi bel pulang ko.” Ucapnya ringan. “Huh? Sudah selama itukah aku tidur? Dan lalu—kau bolos lagi ya Mint!” Balasku setelah berpikir sesaat. Dia hanya melontarkan senyum liciknya. “Tch, dasar. Ya sudah. Kita tunggu saja bel pulang.” Ucapku agak kesal.

          Benar saja, tak lama kemudian bel pulang berbunyi. Aku dan Mint kemudian berjalan pulang. Kami juga mencari nii-chan, namun hasilnya nihil. Nii-chan tak terlihat dimanapun. Akhirnya kamipun sampai di luar pintu sekolah. Dan di saat yang sama aku melihat nii-chan sedang berjalan pulang bersama gadis yang sama yang kemarin aku lihat. Kali ini aku tak dapat merasakan sakit. Hatiku sudah hancur. Amarahku memuncak. Rasa sedih menyelimuti hatiku yang hancur. Aku tak percaya nii-chan lebih memilih bersamanya daripada menjengukku. Nii-chan lebih memilih pulang bersama dia daripada denganku. “Seharusnya aku yang berada di samping nii-chan. Tapi mengapa? Mengapa? Kenapa Dia?! Kenapa?! Nii-chan-“ setelah kalimat tersebut melintas di pikiranku. Aku tak bisa melakukan apapun kecuali menunduk dan mengepalkan tanganku geram. Air mataku mulai mengalir keluar menelusuri pipiku.

        “Sel, kau kenapa?” Ucap Mint yang tak menyadari bahwa aku sudah melihat hal terburuk dalam hari-hariku bersama nii-chan. Aku tak membalas perkataan Mint, aku hanya terdiam. Dan di saat nii-chan sudah menghilang dari pandanganku aku segera berlari pulang meninggalkan Mint dengan seribu tanda tanya. Aku berlari dan terus berlari sampai akhirnya aku sampai di depan rumahku. Kutarik nafas dengan sisa tenagaku yang tersisa, menghapus air mataku dan melangkah masuk kedalam rumah. Aku kembali bersikap ramah dan tersenyum kepada orang-orang di rumahku. Tapi itu hanyalah sebuah kebohongan. Sebuah kepalsuan dan kamuflase. Dan pada akhirnya aku menjadi galau disaat aku berada di kamarku. Dan sudah kuputuskan tak akan masuk sekolah untuk seminggu dan tak bertemu nii-chan sampai rasa ini setidaknya hilang.

          Tak terasa seminggu telah berlalu. Hari ini aku di paksa pergi ke sekolah oleh kakekku. Jujur saja aku merasa cukup malas. Apalagi perasaanku belum juga tenang. Dengan berat hati kulangkahkan kakiku ke sekolah. Dan seperti biasanya aku sampai di sekolah cukup pagi. Aku hanya terkulai lemas di kursiku sambil sesekali menghelakan nafas. Sampai akhirnya orang yang selama ini aku hindari datang. Namun nampaknya dia sama sekali tak peduli dengan kehadiranku di kelas. Sebenarnya aku cukup merasa kecewa. Namun di lain sisi aku juga senang karena aku tak tahu harus bagaimana pada nii-chan jika dia menghampiriku yang setelah seminggu hilang dan bahkan tak membalas pesan singkat ataupun mengangkat telepon darinya.

          Kali ini aku sama sekali tidak memperhatikan apapun untuk mengejar ketertinggalanku selama seminggu. Aku hanya melamun sambil membaringkan kepalaku baik selama pelajaran maupun selama istirahat. Sampai akhirnya bel pulang berbunyi aku yang biasanya keluar paling awal kali ini keluar paling terakhir karena lamunanku tadi. Aku berjalan dengan malas keluar sekolah. Dan di saat aku tiba di gerbang sekolah seseorang menarik tanganku. Sontak aku menoleh dan kulihat nii-chan memandangku dengan wajah serius. “Kita harus bicara.” Kalimat itulah yang terlontar dari mulut nii-chan yang kemudian membawaku ke belakang sekolah.

          “Ada apa?” Tanyaku sinis. “Sel. Kamu kenapa. Kenapa kamu berubah sikap padaku?” Balas nii-chan. Aku hanya terdiam dan menunduk. “Jawab sel jawab!” Kini suara nii-chan mulai meninggi yang menandakan ia mulai marah. Aku masih terdiam. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku berusaha menahan air mataku. Dan memberanikan diri untuk bicara. “Mu-zz-y. Ak-u.” “Aku apa sel--” Ucapan nii-chan terhenti ketika aku secara tak sadar sudah memeluk tubuhnya dengan erat. “Aku sayang kamu! Nii-chan... Riselѐ cinta sama nii-chan. Jangan tinggalin Riselѐ. Jangan.” Ucapku tersendat-sendat oleh tangisku yang sudah tak terbendung lagi. “Lalu, kenapa kau menolakku?” Balas nii-chan dengan nada miris. “Aku bingung, dulu aku bingung. Tapi kali ini aku yakin dengan perasaanku. Aku yakin. Bahwa aku cinta sama kamu! Nii-chan.” Jawabku yang masih tak berhenti menangis. Sesaat nii-chan terdiam, lalu dia balas memelukku dengan lembut. “Jangan khawatir, nii-chan takkan meninggalkanmu. Lagipula aku di tolak lagi. Hehe.” Ucap nii-chan berusaha menenangkanku. “nii--chan.” Ucapku yang kemudian menengadah dan menatap mata nii-chan. Tanpa banyak bicara lagi wajah kami saling mendekat satu sama lain hingga akhirnya bibir kami bertemu. Ciuman pertamaku. Kini airmata kesedihanku berubah menjadi air mata bahagia. Aku merasa sangat bahagia. Kini aku dapat bersama nii-chan yang notabene sudah menjadi kekasihku. Tapi untuk suatu alasan aku masih ingin tetap memanggilnya nii-chan. Mungkin itulah panggilan sayangku untuknya. Dan ini merupakan pengalamanku tentang kebahagiaan yang tetap terukir di hatiku.

No comments:

Post a Comment